informasi orientasi tenaga kerja
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI..................................................................................................................I
BAB I
PENDAHULUAN..........................................................................................................II
A.
LATAR
BELAKANG.......................................................................................II
B.
RUMUSAN
MASALAH..................................................................................III
C.
TUJUAN...........................................................................................................IV
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN..................................................................................1
B.
PENGERTIAN ORIENTASI MENURUT AHLI.............................2
C. TUJUAN
ORIENTASI PEGAWAI ATAU KARYAWAN..............4
D. MANFAAT
ORIENTASI..................................................................5
E. KEUNTUNGAN
DAN KELEMAHAN ORIENTASI SECARA UMUM...............................................................................................6
1. KEUNTUNGAN
ORIENTASI....................................................6
2.KELEMAHAN
ORIENTASI..........................................................7
F. TAHAP
ORIENTASI.........................................................................8
·
BEBERAPA TAHAP
ORIENTASI YANG PENTING DILAKUKAN........................................................................8
G. BAHAN
ORIENTASI KARYAWAN BARU....................................12
H. PENTINGNYA
MANAJEMEN BIROKRASI PROFESIONAL UNTUK MENGATASI KEMUNDURAN BIROKRASI DALAM
PELAYANAN PUBLIK.....................................................................14
BAB III
PENUTUP.................................................................................................28
KESIMPULAN.........................................................................................29
DAFTAR
ISI.............................................................................................30
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ketika
memulai pekerjaan baru banyak para karyawan yang merasa gugup ketika pertama
kali bekerja. Kegugupan hari pertama ini dasarnya bersifat alamiah. namun hal
itu dapat mengurangi kepuasan karyawan baru dan kemampuan untuk belajar kerja
jika manajer SDM tidak mengantisipasinya lebih dini. Para psikolog mengatakan
bahwa kesan awal pertama adalah begitu kuatnya dan wajar wajar saja karena
karyawan baru masih memiliki sesuatu yang sedikit, seperti pengetahuan, dan
pengalaman kerja serta untuk melakukan penilaian diri. Hal ini sangat
tergantung pada keinginan kuat karyawan untuk mengetahui segala sesuatu tentang
perusahaan. untuk membantu karyawan menjadi anggota yang puas dan produktif,
manajer dan departemen SDM harus membuat kesan awal tersebut menjadi sesuatu
yang menyenangkan para karyawan baru, jadi jangan menimbulkan kesan bahwa yang
paling membutuhkan di perusahaan adalah karyawan dan perusahaan.
Sekali proses
seleksi telah diputuskan, para manajer dan departemen SDM hendaknya membantu
karyawan baru tersebut untuk merasa cocok dengan lingkungannya. Mengapa? karena
sejak hari pertama, pendatang baru sudah masuk ke proses Investasi SDM. Mereka
perlu disiapkan sejak awal agar nantinya mampu melakukan sesuatu tugas yang
dibebankan perusahaan kepada mereka dengan baik. untuk membantu pendatang baru
agar mereka merasa cocok, program orientasi dan sosialisasi akan membuat mereka
familiar antara lain dengan peran peranya, perusahaan, kebijakan kebijakan
dankaryawan lainnya.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di
atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti :
1.
Apa arti dari orientasi karyawan dan tujuan orientasi karyawan?
2.
Apa arti dari penempatan kerja?
3.
Faktor apa saja yang mempengaruhi penempatan kerja?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui arti dari orientasi karyawan dan tujuan orientasi
karyawan.
2.
Mengetahui arti dari penempatan kerja.
3.
Mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi penempatan kerja.
BAB II
PEMBAHASAN DAN ISI
A.
PENGERTIAN
ORIENTASI
Orientasi adalah program
yang dirancang untuk menolong karyawan baru (yang lulus seleksi) mengenal
pekerjaan dan perusahaan tempatnya bekerja. Program orientasi sering juga
disebut dengan induksi. Yakni memperkenalkan para karyawan dengan
peranan atau kedudukan mereka, dengan organisasi dan dengan karyawan lain.
Orientasi dilaksanakan karena semua pegawai baru membutuhkan waktu untuk dapat
menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan kerjanya yang baru.
Orientasi berarti penyediaan
informasi dasar berkenaan dengan perusahaan bagi pegawai baru, yaitu informasi
yang mereka perlukan untuk melaksanakan pekerjaan secara memuaskan. Informasi
dasar ini mencakup fakta-fakta seperti jam kerja, cara memperoleh kartu
pengenal, cara pembayaran gaji dan orang-orang yang akan bekerja sama
dengannya. Orientasi pada dasarnya merupakan salah satu komponen proses
sosialisasi pegawai baru, yaitu suatu proses penanaman sikap, standar, nilai,
dan pola perilaku yang berlaku dalam perusahaan kepada pegawai baru.
Orientasi
memberikan informasi kepada karyawan baru mengenai latar belakang tentang
perusahaan & pekerjaan. Pada intinya orientasi adalah proses sosialisasi
karyawan baru terhadap pimpinan perusahaan. Sosialisasi adalah proses penanaman dalam diri karyawan tentang sikap, standar,
nilai-nilai, dan pola perilaku yang diharapkan oleh organisasi dan departemen.
Program orientasi dimulai dari pengenalan informal yang singkat sampai program
formal yang panjang. Biasanya karyawan diberikan buku panduan tentang jam
kerja, penilaian kinerja, pembayaran gaji, dan liburan/cuti.
B.
PENGERTIAN
ORIENTASI MENURUT AHLI
Berikut pengertian orientasi menurut
beberapa ahli :
1.Marihot Tua
Efendi Hariandja mendefinisikan orientasi dengan suatu program untuk
memperkenalkan pegawai baru pada peran-peran mereka, organisasi,
kebijaksanaan-kebijaksanaan, nilai-nilai, keyakinann-keyakinan dan pada rekan
kerja mereka.Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh departemen sumber daya
manusia dan atasan langsung dari pegawai tersebut untuk mensosialisasikan
nilai-nilai organsiasi pada pegawai baru.
2. Gary Dessler menyebut orientasi dengan
memberikan informasi mengenai latar belakang kepada karyawan baru yang
dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan secara memuaskan, seperti informasi
perusahaan.Program ini bisa dimulai dari perkenalan singkat secara informal
atau dengan kursus formal yang panjang.
3.Susilo
Martoyo, Orientasi adalah memperkenalkan para karyawan baru dengan peranan
atau kedudukan mereka, dengan organisasi dan dengan para karyawan lain.
4.Ingham (1970): the
concept formed the basis for the harmonious view of industrial relations in the
small firm as orientation to work was said to cause individual self-selection
to the small firm sector. Yang kurang lebih memiliki arti: sikap dan tingkah
laku karyawan, merupakan suatu konsep yang dapat menciptakan harmoni dalam bekerja
dan sehingga dapat menyebabkan peningkatan kinerja karyawan secara
individu dalam sebuah perusahaan
5.Goldthorpe
(1968) : orientation to work adalah arti sebuah pekerjaan terhadap
seorang individu, berdasarkan harapannya yang diwujudkan dalam pekerjaannya.
Tenaga
kerja merupakan penc duduk yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No. 13
tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.Secara garis besar
penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan
bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut
telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah
berumur 15 tahun – 64 tahun. Menurut pengertian ini, setiap orang yang mampu
bekerja disebut sebagai tenaga kerja. Ada banyak pendapat mengenai usia dari
para tenaga kerja ini, ada yang menyebutkan di atas 17 tahun ada pula yang
menyebutkan di atas 20 tahun, bahkan ada yang menyebutkan di atas 7 tahun
karena anak-anak jalanan sudah termasuk tenaga kerja
Program
orientasi karyawan baru adalah program yang bertujuan
memperkenalkan tentang kehidupan sosial, budaya, dan lingkungan
kerja di sekitar tempat kerja.
Point penting yang disampaikan kepada karyawan baru tersebut adalah pengenalan tentang letak georgrafis Batam, Budaya, Sosial Ekonomi, infra struktur, Fasilitas umum (Olaharaga, keagamaan, kemasyarakatan). Peraturan tentang kehidupan di lingkungan dormitory, motivasi kerja.
Setelah memperkerjakan para karyawan, perusahaan menyelenggarakan program orientasi formal. Berdasarkan yang ada,
Point penting yang disampaikan kepada karyawan baru tersebut adalah pengenalan tentang letak georgrafis Batam, Budaya, Sosial Ekonomi, infra struktur, Fasilitas umum (Olaharaga, keagamaan, kemasyarakatan). Peraturan tentang kehidupan di lingkungan dormitory, motivasi kerja.
Setelah memperkerjakan para karyawan, perusahaan menyelenggarakan program orientasi formal. Berdasarkan yang ada,
orientasi biasanya
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
1.
Orientasi organisasi, adalah memberitahu
karyawan mengenai tujuan, riwayat, filosofi, prosedur dan pengaturan organisasi
tersebut. Itu harus mencakup tunjangan kebijakan dan tunjangan SDM yang relevan
seperti jam kerja, prosedur penggajian tuntutan lembur dan tunjangan.
2.
Orientasi unit kerja, adalah
mengakrabkan karyawan itu dengan sasaran unit kerja tersebut, memperjelas
bagaimana pekerjaannya menyumbang pada sasaran unit itu dan mencakup perkenalan
dengan rekan-rekan kerja barunya.
C. TUJUAN
ORIENTASI PEGAWAI ATAU KARYAWAN
Program Orientasi Karyawan Baru bertujuan untuk :
1. Menyiapkan
mental bagi karyawan baru dalam menghadapi peralihan suasana dari lingkungan
pendidikan ke dunia kerja yang nyata
2. Menghilangkan
hambatan psikologis dalam memasuki kelompok yang baru
3. Mengenal
secara singkat lingkungan pekerjaan yang baru
4. Tujuan
orientasi menurut Moekijat (1991:94) adalah sebagai berikut :
5. Memperkenalkan
pegawai baru dengan perusahaan
6. Menghindarkan
adanya kekacauan yang mungkin disebabkan oleh seorang pekerja baru ketika
diserahi pekerjaan baru
7. Memberi
kesempatan pada pegawai untuk menanyakan masalah tentang pekerjaan mereka yang
baru
8. Menghemat
waktu dan tenaga pegawai dengan memeberitahukan kepada mereka ke mana harus
meminta keterangan atau bantuan dalam menyelesaikan masalah yang mungkin timbul
9. Menerangkan
peraturan dan ketentuan perusahaan sedemikian rupa sehingga pegawai baru dapat
menghindarkan rintangan atau tindakan hukuman yang akan terjadi karena
pelanggaran peraturan yang tidak mereka ketahui
10. Memberikan
pengertian kepada pegawai baru bahwa mereka adalah bagian yang penting di dalam
sebuah organisasi
Orientasi yang efektif
akan mencapai beberapa tujuan utama:
1.
Membentuk kesan yang menguntungkan pada
karyawan dari organisasi dan pekerjaan.
2.
Menyampaikan informasi mengenai
organisasi dan pekerjaan.
3.
Meningkatkan penerimaan antarpribadi
oleh rekan-rekan kerja.
4.
Mempercepat sosialisasi dan integrasi
karyawan baru ke dalam organisasi.
5.
Memastikan bahwa kinerja dan
produktivitas karyawan dimulai lebih cepat.
6.
Usaha-usaha orientasi mengenai
organisasi dan pekerjaan.
7.
Meningkatkan penerimaan antarpribadi
oleh rekan-rekan kerja.
8.
Mempercepat sosialisasi dan integrasi
karyawan baru ke dalam organisasi.
9.
Memastikan bahwa kinerja dan
produktivitas karyawan dimulai lebih cepat.
D. MANFAAT ORIENTASI
1. Manfaat Orientasi
a) Mengurangi
perasaan diasingkan, kecemasan, dan kebimbangan pegawai.
b) Dalam
waktu yang singkat dapat merasa menjadi bagian dari organisasi.
c) Hasil
lain untuk pegawai yang baru diorientasikan adalah Cukup baik
d) Tingkat
ketergantungannya kecil
e) Kecenderungan untuk keluar juga kecil
f) Selanjutnya,
program orientasi juga akan mempercepat proses sosialisasi
2.
Dampak Orientasi
(Dikutip dari Academic of Management Journal : George F. Dreker, 1971), yaitu :
a. turnover (keluar masuknya pegawai)
b. productivity
(Dikutip dari Academic of Management Journal : George F. Dreker, 1971), yaitu :
a. turnover (keluar masuknya pegawai)
b. productivity
E. KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN ORIENTASI
SECARA UMUM
1. KEUNTUNGAN ORIENTASI
Usaha-usaha orientasi yang efektif juga
berkontribusi terhadap keberhasilan jangka pendek dan jangka panjang.Praktik
SDM sebagai berikut mengandung saran-saran mengenai bagaimana membuat orientasi
karyawan lebih efektif.Beberapa studi penelitian dan survei atas pemberi kerja
melaporkan bahwa sosialisasi dari karyawan-karyawan baru dan komitmen awal
merka pada perusahaan secara positif dipengaruhi oleh orientasi. Sosialisasi
ini meningkatkan “kecocokan antara orang-organisasi”, yang juga menguatkan
pandangan- pandangan positif terhadap pekerjaan, rekan kerja, dan organisasi,
para pemberi kerja telah menemukan nilai dari orientasi bahwa tingkat retensi
karyawan akan lebih tinggi jika karyawan-karyawan baru menerima orientasi yang
efektif.
Bentuk pelatihan ini juga berkontribusi
pada kinerja organisasional secara keseluruhan ketika para karyawan lebih cepat
merasa sebagai bagian dari organisasi dan dapat mulai berkontribusi dalam
usaha-usaha kerja organisasional.
Satu cara untuk mengembangkan efisiensi dari orientasi adalah melalui penggunaan orientasi elektronik. Sejumlah pemberi kerja menempatkan informasi orientasi karyawan umum pada intranet atau situs Web perusahaan. Para karyawan baru dapat masuk ke dalam sistem dan mendapatkan banyak materi umum mengenai sejarah perusahaan, struktur, produk dan jasa, pernyataan misi, dan informasi latar belakang lainnya, dan tidak harus duduk di ruang kelas dimana informasi tersebut disampaikan secara pribadi atau dengan video.
Satu cara untuk mengembangkan efisiensi dari orientasi adalah melalui penggunaan orientasi elektronik. Sejumlah pemberi kerja menempatkan informasi orientasi karyawan umum pada intranet atau situs Web perusahaan. Para karyawan baru dapat masuk ke dalam sistem dan mendapatkan banyak materi umum mengenai sejarah perusahaan, struktur, produk dan jasa, pernyataan misi, dan informasi latar belakang lainnya, dan tidak harus duduk di ruang kelas dimana informasi tersebut disampaikan secara pribadi atau dengan video.
Kemudian, pertanyaan dan soal yang lebih
spesifik dapat ditangani oleh staf SDM dan lainnya setelah para karyawan
meninjau informasi-informasi berbasis Web tersebut.Sayangnya banyak sesi
orientasi karyawan baru dirasakan sebagai hal yang membosankan, tidak relevan,
dan pemborosan waktu oleh karyawan, supervisor, dan manajer departemen mereka.
2.KELEMAHAN
ORIENTASI
Kelemahan umum dari program orientasi adalah pada level supervisor. Walaupun bagian kepegawaian telah merancang program orientasi secara efeketif dan juga melatih para supervisor tentang cara bagaimana melakukan orientasi pada bidangnya, namun seringkali mengalami kegagalan.Untuk dapat menghindarkan kesalahan umum yang dilakukan oleh para supervisor, sebaiknya bagian kepegawaian menyediakan satu pedoman yang berisikan tentang apa-apa yang seharusnya dilakukan oleh supervisor dalam program orientasi tersebut. Cara lain yang dapat dilakukan adalah buddy system. Yaitu dengan menetapkan satu orang pekerja yang telah berpengalaman dan meminta kepadanya mengajak pegawai baru tersebut.
HAL-HAL YANG
DIPERHATIKAN DAN HAL-HAL YANG DIHINDARI DALAM ORIENTASI
·
Orientasi haruslah bermula dengan jenis informasi yang relevan dan segera untuk
dilanjutkan dengan kebijakan-kebijakan yang lebih umum tentang organisasi.
Orientasi haruslah berlangsung dalam kecepatan yang membuat karyawan baru tetap
merasa nyaman.
·
Bagian paling signifikan adalah sisi manusianya, memberikan pengetahuan kepada
karyawan baru tentang seperti apa para penyelia dan rekan kerjanya, berapa lama
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai standar kerja yang efektif, dan mendorong
mereka mencari bantuan dan saran ketika dibutuhkan
·
Karyawan-karyawan baru sepatutnya didorong dan diarahkan dalam lingkungannya
oleh karyawan atau penyelia yang berpengalaman sehingga dapat menjawab semua
pertanyaan dan dapat segera dihubungi selama periode induksi
·
Karyawan baru hendaknya secara perlahan diperkenalkan dengan rekan kerja mereka
Karyawan baru hendaknya diberikan waktu yang cukup untuk mandiri sebelum tuntutan pekerjaan mereka meningkat
Karyawan baru hendaknya diberikan waktu yang cukup untuk mandiri sebelum tuntutan pekerjaan mereka meningkat
Hal-hal
yang perlu dihindari dalam orientasi antara lain:
a) Penekanan
pada kertas kerja
Karyawan baru biasanya hanya diberikan sambutan sepintas lalu mengisis formulir yang dibutuhkan oleh HRD kemudian diserahkan langsung kepada penyelia, hal ini dapat mengakibatkan mereka tidak sebagai bagian dari perusahaan
Karyawan baru biasanya hanya diberikan sambutan sepintas lalu mengisis formulir yang dibutuhkan oleh HRD kemudian diserahkan langsung kepada penyelia, hal ini dapat mengakibatkan mereka tidak sebagai bagian dari perusahaan
b) Tinjauan
yang kurang lengkap mengenai dasar-dasar pekerjaan
c) Suatu
orientasi yang cepat dan dangkal dan langsung ditempatkan pada pekerjaan. Hal
ini dapat menyebabkan stres.
d) Tugas
pertama karyawan baru yang tidak signifikan Yaitu pekerjaan yang sanagt
mendasar dan sangat mudah, hal ini dapat mengakibatkan pegawai baru merasa
bukan bagian yang penting dalam organisasi.
e) Memberikan
informasi yang terlalu cepat
f) Proses
orientasi yang terlalu banyak dan penyampaian yang terlalu cepat dapat
mengakibatkan karyawan baru mati lemas.
F. TAHAP ORIENTASI
BEBERAPA TAHAP
ORIENTASI YANG PENTING DILAKUKAN
1.
Perkenalan
Memperkenalkan pegawai baru, mulai dari unit kerjanya
sendiri sampai unit kerja besarnya dan sampai unit-unit kerja terkait lainnya,
akan memberikan ketenangan dan kenyamanan si pegawai, karena dia merasa
diterima di lingkungannya dan hal tersebut akan mempermudah dia untuk bertanya
jika ada hal-hal yang kurang jelas, bahkan dapat membina kerja sama dengan yang
lain dalam rangka menjalankan tugasnya.
2.
Penjelasan Tujuan Perusahaan
Dengan menjelaskan profil perusahaan secara lengkap seperti visi, misi, nilai-nilai, budaya perusahaan dan struktur organisasi, akan membuat pegawai baru lebih mengenal perusahaan tersebut, sehingga akan membangkitkan motivasi dan kemampuan dia untuk mendukung tujuan perusahaan.
Dengan menjelaskan profil perusahaan secara lengkap seperti visi, misi, nilai-nilai, budaya perusahaan dan struktur organisasi, akan membuat pegawai baru lebih mengenal perusahaan tersebut, sehingga akan membangkitkan motivasi dan kemampuan dia untuk mendukung tujuan perusahaan.
3.
Sosialisasi Kebijakan
Perlu adanya sosialisasi tentang kebijakan perusahaan yang berlaku, mulai dari kebijakan baik yang terkait dengan Sumber Daya Manusia seperti Reward, Career, Training, Hubungan Kepegawaian, Penilaian Pegawai, sampai Termination, juga yang terkait dengan unit kerja tempat dia bekerja, demikian juga tentang kode etik dan peraturan perusahaan. Dengan demikian akan memperjelas hal-hal yang perlu ditaati dan dijalankan dalam memperlancar tugas kerjanya.
Perlu adanya sosialisasi tentang kebijakan perusahaan yang berlaku, mulai dari kebijakan baik yang terkait dengan Sumber Daya Manusia seperti Reward, Career, Training, Hubungan Kepegawaian, Penilaian Pegawai, sampai Termination, juga yang terkait dengan unit kerja tempat dia bekerja, demikian juga tentang kode etik dan peraturan perusahaan. Dengan demikian akan memperjelas hal-hal yang perlu ditaati dan dijalankan dalam memperlancar tugas kerjanya.
4.
Jalur Komunikasi
Membuka jalur komunikasi akan mempermudah pegawai baru menyampaikan aspirasinya maupun pertanyaan-pertanyaannya. Untuk itu perlu dibukanya ruang komunikasi bagi pegawai baru, baik melalui komunikasi rutin melalui tatap muka seperti meeting rutin, friday session dll, juga dibukanya jalur media komunikasi seperti email maupun telephone.
Membuka jalur komunikasi akan mempermudah pegawai baru menyampaikan aspirasinya maupun pertanyaan-pertanyaannya. Untuk itu perlu dibukanya ruang komunikasi bagi pegawai baru, baik melalui komunikasi rutin melalui tatap muka seperti meeting rutin, friday session dll, juga dibukanya jalur media komunikasi seperti email maupun telephone.
5.
Proses Monitoring
Tentunya pada awal bekerja, si pegawai baru sudah disosialisasikan target kerja yang harus dicapai. Perlu adanya monitor rutin akan hasil kerjanya, sehingga akan membantu pegawai tersebut lebih lagi meningkatkan kinerjanya. Jika ada kekurangan, maka dapat disampaikan hal-hal yang perlu dia lakukan untuk mengatasi kekurangan tersebut. Demikian juga jika ternyata pegawai tersebut berhasil mencapai target yang lebih, maka dapat ditingkatkan lagi target kerjanya.
Tentunya pada awal bekerja, si pegawai baru sudah disosialisasikan target kerja yang harus dicapai. Perlu adanya monitor rutin akan hasil kerjanya, sehingga akan membantu pegawai tersebut lebih lagi meningkatkan kinerjanya. Jika ada kekurangan, maka dapat disampaikan hal-hal yang perlu dia lakukan untuk mengatasi kekurangan tersebut. Demikian juga jika ternyata pegawai tersebut berhasil mencapai target yang lebih, maka dapat ditingkatkan lagi target kerjanya.
Dengan
adanya orientasi pegawai baru tersebut diharapkan dapat membantu pegawai dapat
bekerja dengan baik, yang dapat meningkatkan produktivitas kerjanya, yang pada
akhirnya akan mendukung pencapaian tujuan perusahaan.
Hasil yang dicapai
dengan program orientasi pertama ini adalah
·
Tingkat kecemasan pegawai baru meningkat
·
Kemampuan untuk mempelajari hal-hal yang
baru menjadi sangat renda
·
Bahkan banyak yang tidak kembali lagi
setelah makan siang
·
Ada juga yang tidak mengambil upahnya
hari itu
·
Kejadian kedua, bagian personalia mulai melakukan reaksi terhadap apa
yang terjadi, seperti berikut:
1) Mulai
merekrut pegawai lain dan juga melakukan penelitian tentang sebab terjadinya
hal-hal seperti pada program orientasi pertama tadi
2) Diadakan
perpanjangan waktu
3) Pada
pagi hari diberi informasi tentang banyak hal, misalnya struktur, tujuan jangka
panjang perusahaan, dan hal-hal lain yang sifatnya umum.
4) Penjelasan
dilakukan dan waktunya sekitar dua jam.
5) Kemudia
mereka diberi formulir (kalau bekerja disini apa yang mereka harapkan)
6) Sasarannya
menciptakan sikap positif dari para pegawai baru tersebut terhadap “Texas
Instruments”
7) Sebelum
makan siang mereka diperkenalkan pada supervisor dan bersama dengan pegawai
baru tersebut mereka makan bersama
8) Setelah
itu supervisor baru memperkenalkan kepada pegawai lama dari masing-masing unit
kerja, juga kepada pegawai di Assembly Lines
Dari dua kejadian di
atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
pada
program orientasi singkat :
·
tingkat kecemasan meningkat sehingga
kemampuan melakukan sesuatu berkurang, sehingga pegawai merasa tidak mampu dan
keluar
·
Pada program orientasi yang relatif lama
:
tingkat kecemasan mulai
diredakan melalui berbagai kegiatan, sehingga tingkat kemampuan pegawai menjadi
semakin baik dan keinginan untuk keluar pun menjadi berkurang.
Pendekatan
orientasi yang patut dihindari adalah:
·
Penekanan pada kertas kerja. Setelah
mengisi berbagai barang yang dibutuhkan oleh departemen sumber daya manusia,
para karyawan baru diberikan sambutan sepintas lalu. Selanjutnya mereka
diarahkan kepada penyelianya langsung. Kemungkinan hasilnya: kalangan karyawan
baru tidak merasa sebagai bagian dari perusahaan.
·
Telaah yang kurang lengkap mengenai
dasar-dasar pekerjaan. Suatu orientasi yang cepat dan dangkal, dan para
karyawan baru langsung
ditempatkan di pekerjaan tenggelam ataupun mengap-mengap.
ditempatkan di pekerjaan tenggelam ataupun mengap-mengap.
·
Tugas-tugas pertama karyawan baru tidak
signifikan, dimaksudkan untuk
mengajarkan pekerjaan “mulai dari dasar sekali”.
mengajarkan pekerjaan “mulai dari dasar sekali”.
·
Memberikan terlampau banyak informasi
secara cepat merupakan suatu
keinginan yang baik, namun menjadi pendekatan yang mencelakakan,
menyebabkan para karyawan baru merasa kewalahan dan “mati lemas”
keinginan yang baik, namun menjadi pendekatan yang mencelakakan,
menyebabkan para karyawan baru merasa kewalahan dan “mati lemas”
G. BAHAN ORIENTASI KARYAWAN BARU
Training
untuk pengenalan profil Perusahaan
·
Sejarah Perusahaan
·
Norma & tradisi Perusahaan
·
Kebijakan perusahaan
·
Deskripsi produk dan jasa yang
dihasilkan
·
Struktur, Otoritas & Tanggung
Jawab
·
Standar Operation Procedure perusahaan
dan bagian tertentu yang relevan
·
Iklim kerja termasuk hubungan dengan
sesama karyawan & atasan
·
Peraturan Perusahaan dan hal-hal penting
lainnya:
·
Disiplin & tata tertib
·
Prosedur penggajian
·
Transportasi dari dan ke
perusahaan
·
Jam masuk & pulang kantor
Orientasi
industry
1. Industri
berorientasi pada pasar (market oriented industri), yaitu industri yang
didirikan mendekati daerah persebaran konsumen.
2. Industri
berorientasi pada tenaga kerja (employment oriented industri), yaitu industri
yang didirikan mendekati daerah pemusatan penduduk, terutama daerah yang
memiliki banyak angkatan kerja tetapi kurang pendidikannya.
3. Industri
berorientasi pada pengolahan (supply oriented industri), yaitu industri yang
didirikan dekat atau ditempat pengolahan. Misalnya: industri semen di Palimanan
Cirebon (dekat dengan batu gamping), industri pupuk di Palembang (dekat dengan
sumber pospat dan amoniak), dan industri BBM di Balongan Indramayu (dekat
dengan kilang minyak).
4. Industri
berorientasi pada bahan baku (Raw Material oriented), yaitu industri yang
didirikan di tempat tersedianya bahan baku. Misalnya: industri konveksi
berdekatan dengan industri tekstil, industri pengalengan ikan berdekatan dengan
pelabuhan laut, dan industri gula berdekatan lahan tebu.
5. Industri
yang tidak terikat oleh persyaratan yang lain (footloose industri), yaitu
industri yang didirikan tidak terikat oleh syarat-syarat di atas. Industri ini
dapat didirikan di mana saja, karena bahan baku, tenaga kerja, dan pasarnya
sangat luas serta dapat ditemukan di mana saja. Misalnya: industri elektronik,
industri otomotif, dan industri transportasi.
PENTINGNYA MANAJEMEN BIROKRASI
PROFESIONAL UNTUK MENGATASI KEMUNDURAN BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK
Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi pada masyarakat modern benar-benar dipandang memprihatinkan, sehingga digambarkan adanya ramalan mengenai makin menggejalanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang paling rasionalpun, tidak bisa lagi dianggap sebagai kabar menggembirakan, melainkan justru merupakan pertanda malapetaka dan bencana baru yang menakutkan (Blau dan Meyer, 2000: 3).
Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi pada masyarakat modern benar-benar dipandang memprihatinkan, sehingga digambarkan adanya ramalan mengenai makin menggejalanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang paling rasionalpun, tidak bisa lagi dianggap sebagai kabar menggembirakan, melainkan justru merupakan pertanda malapetaka dan bencana baru yang menakutkan (Blau dan Meyer, 2000: 3).
Siagian
(1994), misalnya, mengakui adanya patologi birokrasi. Hal itu dicirikan oleh
kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masalah
pengetahuan dan ketrampilan, tindakan melanggar hukum, keperilakuan, dan adanya
situasi internal. Demikian juga Kartasasmita (1995) menyebutkan, bahwa
birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self
serving), mempertahankan statusquo dan resisten terhadap perubahan, dan
memusatkan kekuasaan.Hal inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa birokrasi
cenderung lebih mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan menghambat
kemajuan.
Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara
berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak
efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif,
menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi
kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi
instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif
dan represif.
Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian
(Santoso, 1993; Thaba, 1996; Fatah, 1998), bahwa birokrasi di Indonesia ada
kecenderungan berkembang kearah “parkinsonian”, dimana terjadinya proses
pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak
terkendali.
Pemekaran yang terjadi bukan karena
tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping
itu, terdapat pula kecenderungann terjadinya birokrasi “orwellian” yakni proses
pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat
menjadi dikendalikan oleh birokrasi.
Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin
membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien.Pada
kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu
melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.Meskipun sudah
menjadi gejala yang sangat umum, ternyata pada setiap konteks sistem budaya
masyarakat, secara empirik birokrasi dan birokratisasi terlihat dalam pola
perilaku yang beragam.Gejala demikian menunjukkan bahwa birokrasi dan
birokratisasi tidak pernah tampil dalam bentuk idealnya.
Beberapa
alasan, mengapa bentuk ideal birokrasi tidak nampak dalam praktek kerjanya
antara lain:
a) Pertama,
manusia birokrasi tidak selalu berada (exist) hanya untuk organisasi.
b) Kedua,
birokrasi sendiri tidak kebal terhadap perubahan sosial.
c) Ketiga,
birokrasi dirancang untuk semua orang.
d) Keempat,
dalam kehidupan keseharian manusia birokrasi berbeda-beda dalam kecerdasan,
kekuatan, pengabdian dan sebagainya, sehingga mereka tidak dapat saling
dipertukarkan untuk peran dan fungsinya dalam kinerja organisasi birokrasi.
Ada kecenderungan bahwa beberapa
indikator birokrasi lebih berjaya hidup di dunia barat daripada di dunia
timur.Hal ini dapat dipahami, karena di dunia barat birokrasi telah berkembang
selama beberapa abad.Suatu misal pada abad pertengahan dan seterusnya,
perkembangan birokrasi semakin dipacu dan di dukung oleh masyarakat industri.
Oleh karena rasionalitas birokrasi cenderung berhubungan
dengan gejala industrialisasi, maka banyak negara yang bercita-cita menjadi
masyarakatnya menjadi masyarakat industri dan mengadopsi model birokrasi
rasional di dalamnya.Namun demikian, bagi masyarakat yang sedang berkembang
tidak semua kemanfaatan birokrasi rasional dapat dipetik dan dirasakan.Apalagi
birokrasi menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat, maka kecaman dan
pesimisme semakin muncul karena banyak anggota masyarakat merasakan bahwa
berbagai pola tingkah laku yang telah merupakan kebiasaan dalam birokrasi tidak
dapat mengikuti dan memenuhi tuntutan pembangunan dan perkembangan
masyarakatnya.
Sebagai contoh, Islamy (1998:7)
menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik di sektor pemerintahan, pendidikan
dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang dikenal dengan
istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan
yang diberikannya.
Masyarakat pengguna pelayanan banyak
mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas masalah yang dihadapi dan
bahkan mereka telah memberikan semacam public alarm agar pemerintah sebagai
instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin menurunnya kualitas
pelayanan kepada masyarakat segera mengambil inisiatif yang cepat dan tepat
untuk menanggulanginya.
Menurut Islamy (1998:7), terdapat pelbagai faktor yang
menyebabkan birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain
pendekatan atau orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit,
penguasaan terhadap administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin
bertambah gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P
(personalia, peralatan dan penganggaran) yang cukup dan handal (viable
bureaucratic infrastructure). Akibatnya, aparat birokrasi publik menjadi lamban
dan sering terjebak ke dalam kegiatan rutin, tidak responsif terhadap aspirasi
dan kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
di lingkungannya.Sebagai konsekuensinya, perlu dipertanyakan mengenai posisi
aparat pelayanan ketika berhadapan dengan masyarakat atau kliennya.
Guna merespon kesan
buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap
dan perilakunya antara lain :
1)
birokrasi harus lebih mengutamakan sifat
pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat;
dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan;
2)
birokrasi perlu melakukan penyempurnaan
organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang
mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu
ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada
masyarakat);
3)
birokrasi harus mampu dan mau melakukan
perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri
organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap
mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu;
4)
birokrasi harus memposisikan diri
sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu
pembangunan;
5)
birokrasi harus mampu dan mau melakukan
transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi
organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel
dan responsif.
Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi.
Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi.
Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi
diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang
diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan
pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam
kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja
atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki
loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan
(consistency atau coherency).
Oleh karena itu, untuk
merealisasikan kriteria ini Pemerintah sudah seharusnya segera menyediakan dan
mempersiapkan tenaga kerja birokrasi professional yang mampu menguasai
teknik-teknik manajemen pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada
peraturan (rule oriented) tetapi juga pada pencapaian tujuan (goal oriented).
Menurut Johnson (1991:16) istilah professional dan
professionalisasi,
A.
Pertama, dipergunakan untuk menunjuk
pada perubahan besar dalam struktur pekerjaan, dengan jumlah
pekerjaan-pekerjaan professional, atau bahkan pekerjaan-pekerjaan halus (white
collar jobs) yang meningkat secara relative dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan
lainnya,baik sebagai akibat perluasan kelompok pekerjaan yang sudah ada ataupun
sebagai akibat munculnya pekerjaan-pekerjaan baru di bidang jasa.
B.
Kedua, dipergunakan dalam arti yang
hampir sama dengan peningkatan jumlah asosiasi pekerjaan yang mengupayakan
adanya pengaturan rekrutmen dan praktek dalam bidang pekerjaan tertentu.
C.
Ketiga, memandang professionalisasi
sebagai suatu proses yang jauh lebih rumit yang menunjuk pada suatu pekerjaan
dengan sejumlah atribut prinsip-prinsip professional yang merupakan unsur-unsur
pokok profesionalisme.
D.
Keempat, menunjuk pada suatu proses
dengan urutan yang tetap, yaitu suatu pekerjaan dengan tahap-tahap perubahan
organisatoris yang dapat diramalkan menuju bentuk akhir profesionalisme.
Dengan demikian, manajemen strategi pelayanan publik yang
profesional harus lebih berorientasi pada paradigma goal governance yang
didasarkan pada pendekatan manajemen baru baik secara teoritis maupun praktis.
Sekaligus, paradigma goal governance ini diharapkan mampu menghilangkan
praktek-praktek birokrasi Weberian yang negative seperti struktur birokrasi
yang hierarkhikal yang menghasilkan biaya operasional lebih mahal (high cost
economy) daripada keuntungan yang diperolehnya, merajalelanya red tape,
rendahnya inisiatif dan kreativitas aparat, tumbuhnya budaya mediokratis
(sebagai lawan dari budaya meritokratis) dan in-efesiensi.
Substansi
pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan
dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu.Pelayanan
publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan
khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan.
Oleh
karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun
non-pemerintah.Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan
merupakan organisasi garis terdepan (street level bureaucracy) yang berhubungan
dengan pelayanan publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk
organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat
maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk
institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan
bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah.Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan .Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah.Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan .Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).
Strategi manajemen
birokrasi profesional dalam pelayanan publik ini ditandai dengan beberapa
karakteristik antara lain:
1) Pertama,
perubahan yang besar pada orientasi administrasi negara tradisional menuju ke
perhatian yang lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban
pribadi pimpinan.
2) Kedua,
keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik dan menjadikan organisasi,
pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan yang lebih luwes.
3) Ketiga,
tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga
memungkinkan dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya
masing-masing, termasuk pula sistem evaluasi program-programnya.
4) Keempat,
staf pimpinan yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada pemerintah
yang ada, dan dapat pula bersikap non partisan dan netral.
5) Kelima,
fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji pasar (market test) seperti
misalnya dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus disediakan atau ditangani
sendiri oleh pemerintah.
6) Keenam,
mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi.
7) Ketujuh,
birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang menghambat efektivitas
pemerintahan.
8) Kedelapan,
rekruitmen dan penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari kolusi, korupsi dan
nepotism.
Penerapan pendekatan manajemen
profesional pada sektor publik ini telah banyak disuarakan oleh para pakar
dengan berbagai label, misalnya dengan nama “managerialism” oleh Pollitt
(1990), “new public management” oleh Hood (1991), “market based public
administration” oleh Lan dan Rosenbloom (1992), dan “ entrepreneurial
government/ Reinventing Government” oleh Osborn dan Gaebler (1992). Apapun
label yang dipergunakan, yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah
merubah orientasi fokus peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang
semula lebih mementingkan “process” menuju ke “product”, atau dari “ rule
governance” menuju ke “goal governance”.
Tetapi perlu diingat, bahwa dalam
perdebatan teoritis dari kedua kutub orientasi ini, baik rule governance maupun
goal governance memiliki segi kelemahan dan kelebihannya masing-masing.
Kelemahan rule governance, misalnya, dianggap mempunyai penerapan peraturan
yang kaku, bercirikan struktural hierarkhikal, pengawasan yang ketat, bersifat
impersonal,dan sebagainya, sehingga menjadikan birokrasi sebagai “mesin
rasional” yang menciptakan perilaku aparat yang formal dan robotic yang kurang
peka terhadap terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan sosialnya.
Akibat dari struktur birokrasi yang
terlalu rasional bisa menimbulkan hal-hal yang sifatnya dis-fungsional,
in-efesiensi dan bahkan konflik dengan masyarakat yang dilayani karena sifat
impersonal aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya.
Demikian pula, aturan-aturan (rules)
sebagai sarana untuk mencapai tujuan seringkali berubah menjadi tujuan itu
sendiri.Segi kelebihannya, menunjukkan semakin tingginya tertib administrasi
yang dicapai oleh birokrasi publik.
Adapun kelebihan goal governance yaitu meletakkan fokus
utamanya pada “the achievement of result and taking individual responsibility
for their achievement”.Tetapi ia juga memiliki kelemahan apabila
prinsip-prinsip manajemen baru itu hendak diterapkan di sektor publik.
Misalnya, sampai sekarang masih terjadi diskursus yang
seru terhadap 10 prinsip dalam entrepreneurial government-nya Osborn dan Gaebler
(1992) yang mereka kemukakan dalam uraian yang sangat provokatif yaitu
Reinventing Government.
Konsep pemerintahan entrepreneur
Osborn dan Gaebler yang mencoba menemukan nilai-nilai baru (re-inventing) di
bidang pemerintahan ternyata menurut Painter (1994) mempunyai kekuatan dan
sekaligus kelemahan. Kritik Painter terhadap konsep pemerintahan entrepreneur
adalah bahwa ia terlalu bias pada “ new administrative values” yang lebih
banyak menitik beratkan pada orientasi goal governance dengan meminggirkan
nilai-nilai administrasi klasik yang sebenarnya masih potensial yang berbasis
pada rule governance.
Oleh karena itu, Painter menyebutnya
bukannya reinventing government melainkan pemerintahan yang sudah dalam keadaan
tertinggal (abandoning government), karena Osborn dan Gaebler sebenarnya telah
menghapuskan atau setidak-tidaknya telah membelotkan nilai-nilai
pemerintahan.Padahal kedua nilai tersebut (lama dan baru) bisa disatu padukan.
Kritik yang lain, misalnya dari
Pollitt (dalam Hughes, 1994) yang meragukan penerapan prinsip-prinsip
entrepreneurship di sektor publik. Setidak-tidaknya ada dua hal yang melemahkan
konsep tersebut dengan mengatakan :
“ First, the provider/consumer transactions in the public
services tend to be notably more complex than those faced by the costumer in a
normal market; and second, public service consumers are never merely consumers,
they are always citizens too, and they has a set of unique implications for the
transactions”( Pertama, transaksi, provider/ konsumer dalam pelayanan publik
cenderung berada pada sesuatu yang khusus dan lebih komplek daripada berhadapan
dengan pelanggan di pasar yang normal;Kedua, pengguna pelayanan publik tidak
hanya konsumer saja, mereka juga termasuk warga negara lain, dan mereka adalah
bagian yang unik dari implikasi suatu transaksi).
Sehubungan dengan itu, menurut Hughes (1994) diperlukan adanya repositioning dengan menyusun agenda kebijakan reformasi administrasi negara dengan mensinergikan orientasi rule governance dan goal governance. Hughes mengatakan : …..the best parts of the old model professionalism, impartiality, high ethical standards, the absence of corruption can be maintained, along with the improved performance a managerial model premises” (bagian terbaik dari model profesionalisme lama adalah sikap yang adil, standard etika yang tinggi, tingkat korupsi yang dapat dipantau, bersamaan dengan bentuk dasar pemikiran model manajerialnya).
Memahami perdebatan persoalan
tatanan dan pertikaian (order and conflict) seperti diatas, hingga kinipun para
teoritisi sosiologi-politik sering membandingkannya dengan perdebatan hubungan
antara struktur dengan tindakan.
Berkenaan dengan persoalan ini, Sharrock dan
Watson (1988) mengemukakan sebagai berikut : “What is the relationship between
structure and agency? The two seem inimical: structure apparently means
givenness, constraint, stability, whilst agency seemingly implies creativity,
autonomy, fluidity. How, then, do structure and agency relate in society: is it
primarily one or the other? Does emphasis on structure marginalize or eliminate
agency, does emphasis on agency dispose of structure?”.
Tampaknya,
hubungan antara struktur dengan tindakan cenderung digambarkan sebagai bersifat
antagonistik.Struktur sering digambarkan sebagai suatu ketentuan, kekuatan
penghambat, dan kestabilan.Sedangkan tindakan cenderung menampakkan daya cipta,
otonomi, dan ketidak stabilan.Karena itu, penting untuk diajukan pertanyaan.
Aliran
strukturalis (Marx, 1942; Dahrendorf, 1959), berpandangan bahwa kekuasaan
(birokrasi) adalah sebagai fasilitas atau sumber sosial yang dapat dipakai
untuk mencapai tujuan bersama.
Fungsi
sosial dari kekuasaan adalah untuk memelihara ketertiban dan keseimbangan dalam
masyarakat.Kekuasaan sebagai atribut utama dalam sistem sosial berwujud
kepemimpinan yang bertanggung jawab, tetapi juga berbentuk keputusan-keputusan
yang mengikat bagi semua golongan masyarakat.Jadikekuasaan adalah sarana bagi
tercapainya tujuan-tujuan masyarakat secara keseluruhan.Atas dasar itulah, menurut
pandangan strukturalis, konsentrasi kekuasaan adalah syah selama masyarakat
memang menghendakinya. Kritik terhadap hampiran ini adalah karena kaum
strukturalis terlalu menitik beratkan pada struktur yang statis (statusquo)
dengan mengabaikan proses perubahan sosial yang terjadi, serta ketidak
mampuannya mengatasi konflik secara efektif ( Cohen, 1968; Gouldner, 1970;
Abrahamson, 1978). Implikasi hampiran strukturalis ini terhadap fenomena
birokrasi profesional menunjukkan bahwa perubahan tindakan birokrasi merupakan
gerakan moral masyarakat yang menghendaki adanya suatu perubahan paradigma
kinerja birokrasi.
Berbeda
halnya dengan pandangan aliran struktural-konflik (Gramsci, Baran, Coser, dalam
Turner, 1974) ; kelompok yang satu ini justru melihat tindakan birokrasi
sebagai suatu fakta sosial yang banyak diwarnai oleh dominasi politik,
eksploitasi sosial, dan perkembangan ekonomi. Dominasi politik ditandai dengan
suasana paksaan (coercion) yang menimbulkan intimidasi, propaganda dan
indoktrinasi.Dominasi sosial ditandai dengan supremasi golongan/ ras/ budaya
yang menyebabkan suasana hegemoni.Sedangkan dominasi ekonomi ditandai oleh
eksploitasi akibat ketimpangan distribusi alat produksi antara kepentingan
kelas borjuasi dengan proletar. Implikasi pandangan aliran strukturalis konflik
ini terhadap fenomena birokrasi profesional menunjukkan bahwa perubahan
paradigma yang dilakukan oleh birokrasi justru akan menimbulkan konflik baru
(new conflict) dalam tatanan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan.
Adapun
menurut aliran strukturasi Giddens (dalam Baert, 1998) mencoba mencari hubungan
antara struktur dan aktor.Kelompok strukturasionis ini tidak memandang struktur
dan aktor atau agen sebagai dua hal yang dikotomis sehingga menghasilkan
dualisme struktur; sebaliknya dua hal tersebut saling berhubungan secara
dialektis dan kontinuum sehingga menghasilkan dualitas struktur. Aktor atau
agen menurut pandangan aliran ini adalah partisipan yang aktif dalam meng
konstruksi kehidupan sosial, setidak-tidaknya menjadi tuan atas nasibnya
sendiri.
Setiap
tindakan manusia selalu mempunyai tujuan. Ini berarti bahwa aktor secara rutin
dan diam-diam memonitor apa yang sedang ia lakukan, sebagaimana reaksi orang
terhadap tindakannya dan lingkungan dimana ia melakukan aktivitas tersebut.
Sedangkan struktur, selain dapat membatasi aktivitas manusia (constraining)
tetapi juga memberikan kebebasan bertindak (enabling) kepada manusia. Dualitas
struktur melihat kekuasaan (birokrasi) sebagai simuka janus (the janus face of
power) yang berfungsi sebagai alat analisis kehidupan sosial yang penting,
terutama mengenai hubungan antara tindakan manusia dan struktur. Dualitas struktur
menganalisis bagaimana tindakan-tindakan aktor sosial di produksi dan juga
bagaimana struktur secara terus menerus di reproduksi dalam kegiatan-kegiatan
si aktor sosial sepanjang waktu dan ruang yang sangat luas.
Teori
strukturasi ini tidak luput dari kritik. Beberapa kritik yang sering
dikemukakan terhadap aliran strukturasi antara lain :
(a) masih sedikitnya bukti empirik yang bisa
memperkuat validitas teori ini; Bukan aktor atau agen merubah struktur, tetapi
justru struktur merubah aktor atau agen.
(b) Giddens dipandang gagal menjelaskan
fenomena konflik;
(c) diragukan keaslian,
kedalaman, kejelasan analitik dan konsistensi internalnya (fallacy of
perspectivism), karena berasal dari pinjaman berbagai teori lain;
(d) dan dicurigai
karena pendirian politiknya cenderung mendukung statusquo.
Implikasi
hampiran strukturasi ini terhadap fenomena birokrasi profesional diharapkan
akan berdampak positif dalam upaya menciptakan kejelasan pembagian konsep ruang
publik (public sphere) dan ruang pribadi (private sphere) dalam pembaharuan
perubahan orientasi tindakan birokrasi.
Jawaban teoritis tersebut diatas sengaja penulis ajukan untuk memancing wacana dan emosi para pembaca apakah strategi manajemen birokrasi profesional masih dimungkinkan untuk dilaksanakan atau tidak di Negara Republik Indonesia ini? Jika ya, maka akan lahir putera-puteri bangsa yang terbaik dari yang terbaik (best for the best) seperti yang kita harapkan selama ini.
Jawaban teoritis tersebut diatas sengaja penulis ajukan untuk memancing wacana dan emosi para pembaca apakah strategi manajemen birokrasi profesional masih dimungkinkan untuk dilaksanakan atau tidak di Negara Republik Indonesia ini? Jika ya, maka akan lahir putera-puteri bangsa yang terbaik dari yang terbaik (best for the best) seperti yang kita harapkan selama ini.
Dengan
tanpa mengurangi rasa optimisme para pembaca penulis akan mengutip salah satu
pernyataan dari Terence J. Johnson (1991) untuk bahan renungan dan instropeksi
diri kita bersama. Beliau mengatakan sebagai berikut: Benarkah? Sangat boleh
jadi,…… pada masa revolusi industri di Eropa, profesionalisme yang demikian itu
sesuai dengan realitas. Tetapi menjadikan fenomena historis yang sangat
konteksual ini sebagai suatu paradigma untuk masa kini nampaknya tidak lebih
dari sebuah mitos.Profesionalisme sejati telah memudar, dan kaum professional
seperti yang dapat kita saksikan telah bertingkah laku
money-mindedness.Kemadirian mereka pun semakin terdesak oleh birokratisasi
pelayanan dan oleh berbagai pengawasan.Betapa lembaga profesionalisme telah
mengalami banyak kemerosotan peran dalam masyarakat.Demikian, kata Johnson.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Akhirnya penulis
berkesimpulan bahwa untuk mengatasi persoalan kemunduran birokrasi dalam hal
pelayanan publik sebagai solusi strateginya perlu memperhatikan beberapa hal,
yakni:
1. merubah
persepsi dan paradigma birokrasi mengenai konsep pelayanan;
2. adanya
kebijakan publik yang lebih mengutamakan kepentingan publik dan pelayanan
publik dibanding dengan kepentingan penguasa atau elit tertentu;
3. unsur
pemerintah, privat dan masyarakat harus merupakan all together yang sinergi;
4. adanya
peraturan daerah yang mampu menjelaskan mengenai standart minimal pelayanan
publik dan sanksi yang diberikan bagi yang melanggarnya;
5. adanya
mekanisme pengawasan sosial yang jelas mengenai pelayanan publik antara
birokrat dan masyarakat yang dilayani;
6. adanya
kepemimpinan yang kuat (strong leadership) dalam melaksanakan komitmen
pelayanan publik;
7. adanya
upaya pembaharuan dibidang sistem administrasi publik (administrative reform);
8. adanya
upaya untuk memberdayakan masyarakat (empowerment) secara terus menerus dan
demokratis, dst.
DAFTAR ISI
http://sabrinashetyeducation.blogspot.co.id/2013/04/pemilihan-penempatan-dan-orientasi.html
http://jokostpsahid.blogspot.co.id/2012/06/orientasi-dan-penempatan-kerja-karyawan.html
http://ridho-mnj.blogspot.co.id/2013/12/orientasi.html
Hani Handoko. 1987,. Manajemen Personalia dan Sumber Daya
Manusia, Edisi Kedua : Yogyakarta.
Mondy, R. Wayne. 2008,. Manajemen
Sumber Daya Manusia, jilid 1 Edisi 10, PT. Gelora Aksara Pratama: Jakarta.
Sofyadi, Heman. 2008,. Manajemen
Sumber Daya Manusia, PT. Graha Ilmu : Yogyakarta.
http://epsmanajemensdm.blogspot.com/2009/12/analisis-kebutuhan-pelatihan-training.html
http://dwinanmanurunp.blogspot.co.id/2016/06/orientasi-dan-penempatan-sdm.html
Kami telah mendengar banyak sekali cerita tentang pemberi pinjaman daring palsu yang akhirnya menipu orang-orang yang tidak bersalah dengan uang hasil jerih payah mereka semua dengan penyaluran pinjaman kepada mereka secara daring, mereka datang dengan segala macam tuduhan hanya untuk menipu orang yang tidak bersalah, tetapi kejahatan berkembang ketika baik terus bisu, thats mengapa di perusahaan pinjaman rossa stanley kami telah memutuskan untuk mengejar mereka dari sini dengan keluar dengan proses pinjaman nyata dan asli, di rossastanleyloancompany kami menawarkan pinjaman kecil dan berat untuk,
BalasHapusIndividu,
Tubuh Corperate,
Bank kecil,
Kontraktor,
Petani ,
Siswa,
Tidak peduli apa pun kebutuhan keuangan Anda, perusahaan pinjaman rossa stanley yang didukung oleh UNESCO di sini untuk mengembalikan kewarasan ke dunia pinjaman, untuk kebutuhan keuangan Anda, tidak peduli seberapa kecil atau besar yang menjangkau kami sekarang untuk tanggapan langsung atas
Teks & Panggilan hanya +1213153118
Whatsapp hanya +19145295708
Email rossastanleyloancompany@gmail.com
Kami memberikan pinjaman dengan bunga 2% standar
Kami memiliki kesaksian di mana-mana tidak takut, kami keluar untuk membantu Anda dengan tantangan keuangan Anda menghubungi kami hari ini dan Anda akan senang Anda lakukan.
Nama saya Bakti Novita, saya berasal dari Bekasi sebuah kota di Jawa Barat, Indonesia, yang terletak di perbatasan timur Jakarta di dalam wilayah metropolitan Jakarta, beberapa bulan yang lalu saya tersedot ke dalam situasi keuangan yang buruk dan saya membutuhkan pinjaman mendesak untuk membayar tagihan dan kembali ke keuangan saya secara finansial karena situasi keuangan saya saat ini sehingga bank saya menolak memberi saya pinjaman, dia pergi dengan opsi lain untuk mencari pinjaman tanpa jaminan secara online, saya adalah korban penipuan dalam proses penelitian saya , dan saya kehilangan hampir EUR 1500 dan saya dalam kesulitan dan saya hampir berharap untuk mendapatkan pinjaman sampai saya menemukan pos online, postingan itu dibagikan kesaksian oleh Ratu Jamillah dari Surabaya, yang menunjukkan bagaimana dia menerima pinjaman sebesar € 50.000 dari KREDIT UNION DAYA LESTARI / ISKANDAR PINJAMAN LESTARI. setelah membaca posting, saya memutuskan untuk menghubungi Ibu Iskandar melalui email yang dibagikan di pos, permintaan tanpa jaminan saya untuk pinjaman sebesar EUR 350.000 disetujui dalam waktu 72 jam dari permintaan saya dan pinjaman saya dibayarkan ke rekening bank saya tanpa kelalaian apa pun. Saya ingin menyampaikan penghargaan saya yang dalam dan saya juga merekomendasikan agar pemohon pinjaman sangat waspada karena ada banyak penipu yang tujuan utamanya adalah untuk mendorong peminjam yang tidak bersalah, jadi Anda harus berhati-hati dan waspada. bagi mereka yang membutuhkan pinjaman yang nyata dan dapat dipercaya sebagai penerima manfaat, saya merekomendasikan KREDIT UNION DAYA LESTARI / ISKANDAR LESTARI, Anda dapat menghubungi mereka melalui info kontak berikut.
BalasHapusBBM INVITE: {D8980E0B}
WhatsApp Only :: {33753893351}
e-mail: {iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com}
Halo, saya Ny. Sandra Ovia, pemberi pinjaman pribadi uang, apakah Anda berutang? Anda membutuhkan dorongan keuangan? pinjaman untuk membangun bisnis baru, untuk memenuhi tagihan Anda, memperluas bisnis Anda di tahun ini, renovasi rumah Anda dan kami juga memberikan pinjaman BITCOIN dengan suku bunga sangat rendah 2%. Anda dapat menghubungi kami melalui Email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)
BalasHapusAnda dipersilakan ke perusahaan pinjaman kami dan kami akan memberikan yang terbaik dari layanan kami.